Presiden Prabowo Putuskan 4 Pulau Sengketa Aceh – Sumut Kembali ke Aceh

INFO JELAS
0
Peta Indonesia bagian barat menyoroti Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek dalam sengketa wilayah Aceh dan Sumatera Utara, disertai simbol jabat tangan dan bendera Merah Putih.


Jakarta, 17 Juni 2025 – Presiden Prabowo Subianto menetapkan keempat pulau yang menjadi sengketa antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek) sebagai bagian administratif resmi Provinsi Aceh. Keputusan diambil melalui rapat terbatas yang digelar di Istana Kepresidenan dan dipimpin langsung Presiden, serta melibatkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Gubernur Aceh Muzakir Manaf, dan Gubernur Sumut Bobby Nasution.

Rapat tersebut merupakan tindak lanjut atas kajian kemendagri yang menemukan “novum”, atau bukti baru berupa dokumen historis (khususnya Keputusan Mendagri Nomor 111 Tahun 1992) yang menegaskan bahwa keempat pulau tersebut secara hukum masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Singkil. Dokumen ini mengacu pada kesepakatan administratif yang telah disepakati sebelumnya oleh gubernur Aceh dan Sumut saat itu.

Dalam konferensi pers usai rapat, Mensesneg Prasetyo Hadi menyatakan, “Berdasarkan laporan Kemendagri, dokumen, dan data pendukung, Presiden memutuskan bahwa keempat pulau tersebut secara administratif masuk ke wilayah Aceh.” Pernyataan ini sekaligus menegaskan bahwa status pulau tidak lagi dipertanyakan.

Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau yang akrab disapa Mualem, menyampaikan kegembiraannya. “Empat pulau itu milik Aceh berdasarkan bukti sejarah dan dokumen. Tidak ada lagi keraguan,” katanya. Mualem juga menyinggung potensi ekonomi pulau-pulau tersebut dengan mengatakan: “Kenapa sekarang direbut? Karena kandungan energi dan gas di sana setara blok Andaman”. Pernyataan ini diperkuat oleh Kepala BPMA Nasri Djalal yang menyebut, "belum ada data seismik lengkap, tapi lokasi pulau berada di kawasan kerja Offshore Southwest Aceh" yang dikelola Conrad Asia Energy.

Sementara itu, Gubernur Sumut Bobby Nasution menyambut baik keputusan itu. Ia menyatakan bahwa Pemprov Sumut menghargai keputusan Presiden dan berharap masyarakat kedua provinsi bersikap dewasa. Bobby juga mengusulkan agar Aceh dan Sumut dapat mengelola potensi yang ada secara bersama jika diperlukan.

Sengketa ini bermula sejak 2008 ketika Kemendagri memasukkan keempat pulau tersebut sebagai bagian dari Sumut dalam peta administratif nasional. Kesalahan koordinat Aceh dan perbedaan nama pulau saat verifikasi tahun 2009 menjadi pemicu, di antaranya Pulau Mangkir Gadang pernah dinamai Pulau Rangit Besar, dan Lipan semula Malelo.

Akibatnya, April 2025 Kemendagri mengeluarkan SK Nomor 300.2.2‑2138/2025 yang mengkodekan keempat pulau sebagai wilayah Tapanuli Tengah, Sumut. SK tersebut pun memicu gelombang protes nelayan di Pulau Panjang dan demonstrasi mahasiswa Aceh di Jakarta.

Anggota DPR RI asal Aceh Nasir Djamil menyatakan, “Kesepakatan tahun 1992 jadi dasar kuat. SK 2025 ini harus direvisi.” Ia juga mendesak agar Kemendagri menempatkan dokumen historis sebagai acuan utama dan menuntut agar status pulau dikembalikan.

Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla menegaskan bahwa “batas Aceh merujuk UU Nomor 24 Tahun 1956” dan Menlu MoU Helsinki, sehingga aspek hukum menetapkan posisi keempat pulau berada dalam Aceh Singkil. Pernyataan ini menjadi pijakan penting, karena jika ingin mengubah status pulau perlu melalui undang-undang, bukan SK semata.

Wamendagri Bima Arya mengungkap proses autentikasi dokumen historis tersebut berlangsung intensif. Ia menjelaskan, seluruh instansi terkait, termasuk TNI AL dan BADAN Informasi Geospasial, turut menindaklanjuti data perbatasan 1992 dengan koordinat yang kini telah diklarifikasi. “Ditemukan novum yang belum ada sebelumnya, dan menjadi basis hukum kuat untuk revisi administrasi” .

Setelah keputusan hari ini, Kemendagri segera menerbitkan Keputusan Mendagri sebagai tindak lanjut mengganti kodifikasi wilayah dalam SK terdahulu. Pemprov Aceh pun akan menyusun langkah teknis mencakup survei lingkungan, sosialisasi publik, dan pemetaan ulang demi menyusun rencana pengelolaan terpadu.

Sementara itu, para nelayan Singkil menyampaikan harapan mereka melalui wawancara: “Kami pakai pulau itu tiap musim gelombang tinggi. Kalau jadi Tapanuli, sulit akses,” ungkap Abdul Rahman, nelayan lokal, di Pelabuhan Singkil. Harapan serupa diungkap seorang tokoh masyarakat, Yakub: “Kami mau statusnya jelas sehingga bisa buat dermaga baru,” katanya.

Dalam perspektif ekonomi, potensi migas dan perikanan menjadi magnet strategis. Potensi cadangan yang mengiringi blok Arun di Aceh daratan menjadikan Aceh berpengalaman dalam mengelola migas. Studi gas di Arun bahkan telah berlangsung sejak 1971 dan menghasilkan puluhan triliun kaki kubik, dengan infrastruktur pendukung seperti kilang LNG di Lhokseumawe. Meski belum ada data konkret di pulau-pulau tersebut, lokasi berada di area studi OSWA membuka kemungkinan eksplorasi jika survei seismik dilakukan.

Pakar geologi dari Universitas Syiah Kuala, Dr. Rahman, menambahkan via pesan elektronik: “Wilayah lepas pantai Aceh klasik untuk gas lepas pantai. Survei diperlukan, tapi pulau daratan jadi titik akses strategis.” Ia mengingatkan agar setiap eksplorasi harus memperhatikan kelestarian lingkungan dan habitat pesisir.

Politisi Aceh dan Sumut berharap keputusan ini tidak menjadi isapan jempol. Ketua Komisi I DPR Aceh, Aisyah Nur, menyatakan: “Keppres atau Peraturan Mendagri harus segera keluar agar status tidak berubah lagi.” Sementara Bobby Nasution menekankan pentingnya dialog teknis agar potensi pulau bisa dikelola bersama jika masih ada kerancuan saat menunggu implementasi.

Presiden Prabowo dalam kesimpulan konferensi pers menekankan bahwa keputusan ini merupakan bentuk nyata menjalankan demokrasi hukum. “Pemerintah pusat mengambil alih persoalan ini agar tidak terus berlarut,” ujarnya, diakhiri dengan himbauan agar masyarakat tenang dan menunggu tindakan administrasi dan hukum selanjutnya.

Dengan pengembalian empat pulau ini, konflik administratif yang sudah berlangsung puluhan tahun dapat menemui penyelesaian. Tantangan berikutnya berupa konsistensi implementasi di lapangan, mulai dari perubahan data wilayah, izin tatanan masyarakat, hingga keseimbangan antara eksploitasi potensi dan pelestarian lingkungan. Aceh dan Sumut kini memiliki tanggung jawab bersama menjaga kekayaan pulau, baik dari aspek sejarah, sosial ekonomi, maupun kelestarian alam.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)